Setelah Khilafah Turki Utsmani berakhir pada 3 Maret 1924, beberapa kalangan menilai peran Islam dalam pentas politik global selama lebih dari 13 abad juga berakhir. Dan keberadaan umat Islam mulai saat itu telah terpuruk, baik dalam bidang politik, ekonomi, militer, budaya, sains-teknologi maupun yang lainnya.

Selain itu, “penjajahan modern” yang dilancarkan Barat terhadap dunia Islam disinyalir kuat menjadi faktor terpenting yang membangkitkan eskalasi “kerinduan” beberapa kelompok umat Islam terhadap sistem Khilafah Islamiyah yang pernah mengantarkan kejayaan Islam di masa silam. Maka, sejak saat itulah term “khilafah” menjadi isu harakah (pergerakan) Islam dengan misi dan agenda politik membangun kembali Daulah Islamiyah internasional.

Dalam dinamika perjuangannya, ide khilafah internasional ini pertama kali diperankan oleh jamaah Ikhwanul Muslimin yang didirikan di Mesir pada tahun 1928, dan selanjutnya banyak dimainkan oleh jamaah Hizbut Tahrir yang didirikan di Jerusalem Timur tahun 1952. Dan baru-baru ini juga digaungkan oleh Islamic State of Iraq and Sham (ISIS) di Irak dan Syiria.


Khilafah Dalam Kacamata NU


Di Indonesia, benih ide khilafah sudah ada sejak awal kemerdekaan tahun 1945, baik yang bersifat konstitusional, seperti Majelis Konstituante, atau bersifat militer, seperti dalam kasus DI/TII, yang berusaha mendirikan negara Islam dan menolak Pancasila. Era reformasi tahun 1998 yang memberikan ruang kebebasan publik, menjadikan isu khilafah di Indonesia kian vulgar dan menemukan momentumnya. Pembicaraan-pembicaraan yang mewacanakan isu khilafah semakin intens dan terbuka dikampanyekan, baik lewat opini-opini pemikiran maupun gerakan nyata. Seperti mewacanakan Islam sebagai solusi dan edeologi alternatif mengusahakan bentuk pemerintahan Negara Indonesia dari Negara kesatuan berformat republik menjadi khilafah, berikut konstituisi Negara sejak dari Undang-Undang Dasar 1945 dan hukum positif diangkat dari syari’ah Islamiyah seutuhnya.

Dari gamabaran tersebut, maka NU dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama yang diadakan pada tanggal 1-2 nopember 2104 memutuskan beberapa poin penting sehubungan dengan khilafah yaitu:

1. Islam sebagai agama yang komprehensif (din syamil kamil) tidak mungkin melewatkan masalah negara dan pemerintahan dari agenda pembahasannya. Kendati tidak dalam konsep utuh, namun dalam bentuk nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar (mabadi` asasiyyah). Islam telah memberikan panduan (guidance) yang cukup bagi umatnya.

2. Mengangkat pemimpin (nashb al-imam) wajib hukumnya, karena kehidupan manusia akan kacau (fawdla/chaos) tanpa adanya pemimpin. Hal ini diperkuat oleh pernyataan para ulama terkemuka, antara lain: 

 a. Hujjat al-Islam Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya` ‘Ulum al-Din: 

الدين والملك توأمان، فالدين أصل والسلطان حارس، فما لا أصل له فمهدوم وما لا حارس له فضائع“

Agama dan kekuasaan negara adalah dua saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara adalah pengawalnya. Sesuatu yang tidak memiliki fondasi, akan runtuh, sedangkan sesuatu yang tidak memiliki pengawal, akan tersia-siakan”

 b. Syaikh al-Islam Taqi al-Din Ibn Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syar’iyyah fi Ishlah al-Ra’i  wa al-Ra’iyyah:

 إن ولاية أمر الناس من أعظم واجبات الدين، إذ لا قيام للدين إلا بها

"Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (dalam sebuah pemerintahan dan negara) adalah termasuk kewajiban agama yang paling agung. Hal itu disebabkan oleh tidak mungkinnya agama dapat tegak dengan kokoh tanpa adanya dukungan negara” 

3. Islam tidak menentukan apalagi mewajibkan suatu bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi para pemeluknya. Umat diberi kewenangan sendiri untuk mengatur dan merancang sistem pemerintahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat. Namun yang terpenting suatu pemerintahan harus bisa melindungi dan menjamin warganya untuk mengamalkan dan menerapkan ajarankan agamanya dan menjadi tempat yang kondusif bagi kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan.

4. Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh al-Khulafa` al-Rasyidun. Al-Khilafah al-rasyidah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya; yakni ketika kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara-negara bangsa (nation states). Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia. 

5. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah hasil perjanjian luhur kebangsaan di antara anak bangsa pendiri negara ini. NKRI dibentuk guna mewadahi segenap elemen bangsa yang sangat mejemuk dalam hal suku, bahasa, budaya dan agama. Sudah menjadi kewajiban semua elemen bangsa untuk mempertahankan dan memperkuat keutuhan NKRI. Oleh karena itu, setiap jalan dan upaya munculnya gerakan-gerakan yang mengancam keutuhan NKRI wajib ditangkal. Sebab akan menimbulkan mafsadah yang besar dan perpecahan umat.

6. Umat Islam tidak boleh terjebak dalam simbol-simbol dan formalitas nama yang tampaknya islami, tetapi wajib berkomitmen pada substansi segala sesuatu. Dalam adagium yang populer di kalangan para ulama dikatakan:العبرة بالجوهر لا بالمظهر“Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan lahiriah”العبرة بالمسمى لا بالإسم“Yang menjadi pegangan pokok adalah sesuatu yang diberi nama, bukan nama itu sendiri”Dengan demikian, memperjuangkan tagaknya nilai-nilai substantif ajaran Islam dalam sebuah negara—apapun nama negara itu, Islam atau bukan—jauh lebih penting daripada memperjuangkan tegaknya simbol-simbol negara Islam.

Demikian beberapa poin penting yang merupakan pandangan resmi NU terhadap khilafah sebagaimana telah ditetapkan sebagai hasil keputusan resmi Komisi Bahtsul Masail Al-Diniyah  dalam Munas Alim Ulama NU 2014. (ulil H)


Sumber : nu.or.id

Kolom Komentar

Lebih baru Lebih lama