Pendidikan Terbaik Ada di Pesantren
Ratusan santri sedang melaksanakan manasik haji yang berlangsung di ponpes pagelaran III pimpinan KH. Dandi Sobron Muhyiddin, Cisalak, Subang, Jawa Barat.

Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Prof (Phil) Kamaruddin Amin menyatakan pendidikan di pesantren adalah alternatif pendidikan terbaik saat ini, karena meski sebagai lembaga dakwah dan pendidikan, pesantren sangat mungkin memberikan kompetensi keterampilan lain.

Menurut Prof Kamaruddin, para santri sangat mungkin diberikan tambahan kompetensi berupa keterampilan lain atau keterampilan khusus karena sistem pendidikan di pesantren berlangsung 24 jam.

Tambahan kompetensi keterampilan itu sangat penting, sebab tidak semua lulusan pesantren menjadi ulama atau ustadz. Mereka bisa dibekali dengan beragam keterampilan seperti agribisnis, teknologi informasi (IT), dan kemaritiman.

Dalam upaya mewujudkan pendidikan tambahan itu, ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, pesantren harus merevitalisasi dirinya menjadi pendidikan yang cocok atau “match” dengan industri. Kemana kecenderungan industri mendatang, pendidikan di pesantren harus dikembangkan mendukung “trend” tersebut.

Kedua, pesantren harus bisa bersinergi dengan lembaga keuangan dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Pesantren perlu bisa membaca kemana arah investasi, sehingga bisa memperiapkan SDM ke arah itu.

Kerja sama Sementara itu dari sisi kebijakan, Kementerian Agama harus bekerja sama dengan berbagai kementerian lainnya dalam mengembangkan pesantren. Nota Kesepahaman (MoU) dengan beberapa kementerian dan instansi perlu direvitalisasi.

Dalam hubungan ini, Kemenag akan lebih proaktif bekerja sama dan berdiskusi dengan kementerian-kementerian lainnya, dengan harapan beragam kerja sama tersebut dapat direfleksikan secara nyata dalam bentuk tersedianya anggaran.

Dirjen Pendidikan Islam juga mengemukakan, jumlah pesantren secara nasional saat ini mencapai 28.961 unit dengan 322.328 tenaga pendidik dan 4.028.660 peserta didik (santri).

Dari jumlah pesantren seperti itu, sebanyak 15.057 (51,99 persen) hanya menyelenggarakan pengajian kitab saja (tradisional), sedangkan sisanya sebanyak 13.904 (48.01 persen), selain menyelenggarakan pengajian, juga memberikan layanan pendidikan lainnya (modern).

Ada pun syarat terpenuhinya sebagai pesantren adalah memiliki lima unsur, yaitu ada kiayi, santri, asrama (pondok), tempat ibadah (mushola atau masjid) dan pengajian kitab kuning. Jika salah satu unsur tidak ada, maka belum bisa disebut sebagai pesantren.

Selain itu, menurut Prof Kamaruddin, saat ini identitas kesantrian berupa kopiah dan sarungan bukan lagi merupakan identitas marjinal, namun sudah menjadi komunitas yang bergengsi.

Ia menambahkan, kondisi lembaga pendidikan saat ini mengalami tantangan diskoneksitas signifikan berupa terjadinya keterputusan dan ketidaksambungan antara yang dipelajari di sekolah dengan persoalan yang terjadi di masyarakat. Akibatnya, terjadi pengangguran banyak lulusan sarjana.

Hal yang sama terjadi pada level sekolah menengah kejuruan (SMK) dan madrasah aliyah kejuruan (MAK). Ternyata tingkat tidak terserapnya tenaga kerja lulusan SMK dan MAK lebih tinggi ketimbang lulusan SMA dan Aliyah.

Fakta itu terjadi karena tidak matchnya antara apa yang diajarkan oleh guru dengan tantangan di masyarakat saat ini. Problem itu terjadi akibat guru yang mengajar adalah alumnus jurusan kependidikan dan bukan lulusan dari politeknik dengan bidang ilmu yang sesuai dengan yang dibutuhkan di masyarakat.

“Guru hanya memahami paedagogi, namun tidak menguasai konten materi secara maksimal. Oleh sebab itu, tantangan pendidikan sekarang adalah bagaimana mengoneksikan antara dunia pendidikan dengan dunia industri,” kata Prof Kamaruddin.

Dikutip dari:http://www.aktual.com

Kolom Komentar

Lebih baru Lebih lama