Ahmad mendorong bagasi ukuran 20 kilogram ke halaman rumahnya. Angin sore sepoi-sepoi menerbangkan baju koko yang dikenakannya. Ia melemparkan senyum ke segala sisi. Hampir seluruh orang kampungnya menunggu kepulangan Ahmad. Ia patut bangga karena setelah tiga tahun lebih berkelana, baru kali ini ia pulang dengan titel yang cukup kuat. Hafiz – penghafal al-Quran. Gelar yang tidak main-main. Tanpa embel-embel di secarik kertas namun kedudukannya lebih dihormati dan dihargai daripada mereka yang memiliki titel di kertas putih dengan stempel perguruan tinggi negeri atau swasta.

Kisah Penghafal Al-Quran yang Durhaka Kepada Orang Tua


Di mana-mana, orang menyebut nama Ahmad. Ahmad bangga. Orang tuanya terharu. Hari-hari yang lewat adalah bagian terpenting untuk hari-hari berikutnya. Satu patah kata yang diutarakan Ahmad seakan-akan petuah yang tidak boleh dibuang. Setiap kalimat dari Ahmad adalah berkah.

Orang-orang kampung mulai menitipkan anak-anak mereka untuk diajarkan al-Quran. Ahmad pun mengajar dengan penuh semangat. Hampir tiap hari rumahnya diisi oleh ricuh anak-anak mengaji. Alunan kalam ilahimenggema. Semua berlangsung seadanya dan Ahmad merasa telah berada di atas rata-rata.

Ahmad dikenal sebagai seorang pria yang egois. Sifat ini telah mendarah daging dalam dirinya. Kata-kata Ahmad tak lagi halus dan bersahaja. Terkadang, Ahmad sering memarahi murid-muridnya. Seiring waktu, anak-anak mulai menjauh dari Ahmad. Ambisi Ahmad untuk mengajarkan anak-anak dengan benar tidak salah, namun sifat Ahmad yang kerap emosi menghadapi anak-anak membuat mereka yang berusia kecil enggan bersahabat dengan Ahmad. Ahmad tidak ambil pikir. Ia menekuni diri dengan apa yang bisa. Bekal menghafal al-Quran dipercayanya akan mendatangkan rejeki. Ia terus mengasah kemampuan menghafal.

Ia tidak bersosialisasi dengan pria lain, tidak ikut aktivitas kampung, tidak terlibat dalam kegiatan keagamaan di kampung, tidak melakukan banyak hal yang bermanfaat di lingkungan selain menghafal saja!

Seorang Ibu tentu tidak mau anaknya dikucilkan masyarakat. Belum lagi orang-orang mulai membicarakan Ahmad. Ibu menegur Ahmad. Sekali dua kali Ahmad beralasan ini dan itu. Berkali-kali Ibu menegur, Ahmad mulai naik pitam.

“Untuk apa kau hafal Quran jika sifat tak pernah ubah?” pekik Ibu.

“Ibu tahu apa tentang Ahmad?” tantang Ahmad.

“Ibu yang melahirkan engkau!” lirih suara Ibu menerima pertanyaan dari anaknya yang seorang “alim” tersebut. Ahmad tidak merasa bersalah.

“Saya sudah dewasa, Bu! Saya tak suka diatur-atur!”

“Ibu tak mengatur, Ahmad. Kau tak hidup sendiri…,”

Pertikaian demi pertikaian terus terjadi. Tidak sehari dua hari. Hal-hal sepele menjadi masalah bagi ibu dan anak itu. Satu sisi, Ibu butuh perhatian dari anaknya; dalam hal apapun termasuk urusan rumah tangga. Sisi lain Ibu tak mau anaknya dijauhi oleh masyarakat padahal dia memiliki kemampuan. Bagaimana mungkin masyarakat melibatkan Ahmad dalam kegiatan jika ia tak pernah bertegur sapa.

Puncak dari segala pekik saat Ahmad tidak mampu menghafal dengan baik. Ahmad menyalahkan Ibu. Ibu tidak terima. Ibu dan anak perang dingin sampai tak batas waktu.

“Dia durhaka!,” pilu Ibu kepada Ayah. Ayah paham betul tabiat Ahmad. Bukan saja perkataan ibunya saja yang dibantah, perkataan ayahnya juga sering mendapat bantahan. Ahmad berjalan atas pembenaran sikapnya. Ahmad juga merasa telah benar dapat menghafal al-Quran.

Perang dingin ibu dan anak itu terus berlanjut. Ahmad semakin hari semakin lupa ayat-ayat al-Quran. Namun Ahmad tidak pula mencari akar permasalahannya. Di hatinya, Ibu saja yang terbayang telah mencampuri urusannya menghafal.

Pertanyaan saya, apakah Ahmad ikhlas menghafal al-Quran?

Kolom Komentar

أحدث أقدم