Menuju kesempurnaan Iman |
Hidup selalu berubah, bergantung
ketentuan Alloh, demikian juga iman, kadang naik terkadang turun. Tapi aku
selalu berdoa semoga kelak kalau Alloh memanggilku dalam keadaan keimanan yang
paling sempurna.
Barangkali itulah sepenggal kalimat yang selalu terangan dalam
benakku, semenjak usia semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Kiranya
tiada pilihan yang paling indah dalam hidup ini selain daripada menuju
kesempurnaan iman. Sebuah pilihan yang jauh dari kata mudah. Jalan berliku,
terkadang membuat aku nyaris bosan dan putus asa. Tapi mau apalagi yang harus
kita cari dalam hidup ini. Selain dari pada ridho-Nya Allah Subhanahuwata’ala.
Seminggu tiga kali sampai empat kali aku hadir di kajian (ta’lim)
bersama teman-teman dan diantara mereka akulah yang paling tua, maklum usiaku
sudah kepala enam, sedangkan yang lain kebanyakan masih remaja, tapi aku tak
pernah malu ataupun minder untuk menuntut ilmu agama atau Dienul Islam ini.
Sedari kecil sampai setua ini bahkan setelah aku pensiun di militer belum
sekalipun aku mengenal Dienul Islam ini. Dulu ketika aku masih bertugas di
Tim-Tim (Timor Leste sekarang) aku merasa geli kalau mengingat peristiwa yang
pernah aku lakukan. Kalau aku melihat sebagian temanku sedang melakukan sholat,
aku merasa aneh melihat mereka seperti melakukan gerakan-gerakan yang lucu
(jengkulat-jengkulit). Bahkan yang lebih extrem lagi kalau aku dapat pembagian
sarung yang digunakan untuk sholat, maka sambil tertawa-tawa sarung itu kupakai
sebagai selimut untuk tidur. Kalau mengingat semua itu aku merasa merinding
sendiri.
Tapi kini telah kutemukan maksud hidup, hakekat hidup, tujuan
hidup dan sekaligus kebenaran saat aku bertemu seorang yang tiada
bosan-bosannya mendatangiku dan mengajakku ke masjid untuk sholat berjamaah,
sekaligus mendengarkan ceramah agama atau kajian. Awalnya aku tidak
menggubrisnya, tapi lama kelamaan hatiku luluh juga.
Hari ke hari kujalani kehidupan yang terlihat lain dari
kebiasaanku yang sebelumnya. Kini aku mulai belajar sedikit demi sedikit, mulai
dengan bagaimana wudlu yang benar, lalu bagaimana sholat yang benar sesuai yang
diajarkan oleh Baginda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam. Hidayah datang
kepadaku saat usiaku sudah setua ini. Tapi aku tak pernah kecewa. Andai hidayah
itu tidak datang sama sekali, bagaimana kelak aku mempertanggungjawabkan
kehidupanku dihadapan Allah Subhanahuwata’ala di akhirat kelak?
Anak-anak dan istriku tampak gembira dengan semua ini, terutama
istriku yang tulus selalu mengingatkan aku tentang pentingnya mempersiapkan
diri di akhirat nanti.
Suatu malam aku duduk di ruang tamu. Ruang tamuku lumayan besar,
sampai hari ini aku masih menempati rumah dinas yang kebetulan rumah Loji
(rumah bergaya arsitektur Belanda) yang memang agak sedikit sunyi walau
dipinggir jalan raya. Jarak antara rumahku dengan rumah tetangga agak
berjauhan, dibatasi oleh halaman yang luas dan pohon-pohon yang rindang.
Duduk sendiri di sepinya malam aku membaca tafsir terjemahan
Al-Qur’an. Kufahami artinya satu persatu, sebab aku masih belum fasih membaca
huruf Arabnya. Ayat demi ayat kubuka, mulai surat Al- Baqarah, kalau ada arti
dari ayat itu yang menarik dihatiku kutulis di buku dan kuhafal lantas
kurenungkan.
Oh ya, kebetulan aku juga diangkat jadi ketua Pepabri (Persatuan
Purnawirawan ABRI) dikotaku. Kadang-kadang aku sampaikan sesuatu yang kupahami
dari apa yang aku dapatkan dari taklim dan bacaan kepada teman-temanku sesama
purnawirawan ABRI.
Kini lima tahun sudah aku belajar Dienul Islam di Majlis Taklim.
Sudah banyak buku-buku Islami yang kubaca. Hatiku gembira setidaknya ada bekal
ilmu yang kudapat. Sholatku semakin terjaga dan aku berusaha menjaga diriku
dalam segala hal agar kelak keimananku semakin sempurna.
Beberapa waktu ini kurasakan ada sesuatu yang janggal dari
kesehatanku. Setiap malam aku didera batuk yang luar biasa sampai dadaku ini
terasa sakit luar biasa. Entah mulai kapan ini kualami, tapi semakin hari
kurasakan semakin menjadi-jadi. Kadang ingin rasanya aku ke dokter, tapi selalu
saja tertunda. Sampai pada suatu hari ada teman mengaji yang merasa iba
denganku, sebab sering kali dikala kami bersama-sama mengaji, aku sering minta
ijin untuk keluar dan menahan batukku.
Akhirnya kucoba untuk periksa ke dokter, dan dokter menyarankan
agar aku foto rontgen ke rumah sakit. Ternyata pemeriksaan tidak cukup hanya
hari itu saja. Seminggu kemudian aku mendatangi rumah sakit untuk menanyakan
hasil, ternyata….Astaghfirullah…. dokter memberitahukan di paru-paruku ada
semacam benjolan yang ternyata kanker paru-paru stadium empat.
Dunia serasa
gelap, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya terdiam dan banyak-banyak
beristighfar. Sesampai di rumah kukumpulkan anak istriku, kuceritakan apa yang
terjadi pada diriku. Meledaklah tangis mereka, tapi Subhhanallah aku merasa
tenang karena aku yakin apa yang terjadi pada diriku semuanya atas kuasa Allah
seperti yang tertulis dalam Surat Al Hadid ayat 22-23
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi
dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab
(Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu
adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan
berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu
gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai
setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Aku berpesan pada mereka kelak
apabila Alloh memanggilku, maka kuburkanlah sebagaimana Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam menguburkan jenazah. Penghormatan ini lebih aku sukai daripada
penghormatan apapun di dunia ini.
Sumber: Hilmy Hamid Mahri, Sepanjang Jalan Menuju-Mu, Kumpulan
Cerita Berhikmah, Lintas
kata Publishing
إرسال تعليق