Madinah muram. Di setiap sudut rumah wajah-wajah tertunduk
terpekur menatap tanah. Tak ada senyuman yang mengembang, atau senandung cinta
yang dilantunkan para ibunda untuk membuai buah hatinya. Sebutir hari terus
bergulir, namun semua tetap sama, kelabu. Ujung waktu selalu saja hening, padahal biasanya kegembiraan
mewarnai keseharian mereka. Padahal semangat selalu saja menjelma.
Namun kali ini, semuanya luruh. Tatapan-tatapan kosong, desah nafas berat yang
terhembus bahkan titik-titik bening air mata keluar begitu mudah. Sahara
menetaskan kesenyapan, lembah-lembah mengalunkan untaian keheningan. Kabar
sakitnya manusia yang dicinta, itulah muasalnya.
Setelah peristiwa Haji Wada' kesehatan nabi Muhammad Saw memang menurun. Islam telah sempurna, tak akan ada lagi wahyu yang turun. Semula, kaum muslimin bergembira dengan hal ini. Hingga Abu Bakar mendesirkan angin kematian Rasulullah. Sahabat terdekat ini menyatakan bahwa kepergian kekasih Allah akan segera tiba dan saat itu adalah saat-saat perpisahan dengan purnama Madinah telah menjelang. Selanjutnya bayang-bayang akan kepergian sosok yang selalu dirindu sepanjang masa terus saja membayang, menjelma tirai penghalang dari banyak kegembiraan.
Dan masa pun berselang, masjid penuh sesak, kaum Muhajirin beserta Anshar.
Semua berkumpul setelah Bilal memanggil mereka dengan suara adzan. Ada sosok
cinta di sana, kekasih yang baru saja sembuh, yang membuat semua sahabat tak
melewatkan kesempatan ini. Setelah mengimami shalat, nabi berdiri dengan anggun
di atas mimbar. Suaranya basah, menyenandungkan puji dan kesyukuran kepada
Allah yang Maha Pengasih. Senyap segera saja datang, mulut para sahabat
tertutup rapat, semua menajamkan pendengaran menuntaskan kerinduan pada suara
sang Nabi yang baru berada lagi. Semua menyiapkan hati, untuk disentuh
serangkai hikmah. Selanjutnya Nabi bertanya.
"Duhai sahabat, kalian tahu umurku tak akan lagi panjang, Siapakah
diantara kalian yang pernah merasa teraniaya oleh si lemah ini, bangkitlah
sekarang untuk mengambil kisas, jangan kau tunggu hingga kiamat menjelang,
karena sekarang itu lebih baik".
Semua yang hadir terdiam, semua mata menatap lekat Nabi yang terlihat lemah.
Tak akan pernah ada dalam benak mereka perilaku Nabi yang terlihat janggal.
Apapun yang dilakukan Nabi, selalu saja indah. Segala hal yang
diperintahkannya, selalu membuihkan bening sari pati cinta. Tak akan rela
sampai kapanpun, ada yang menyentuhnya meski hanya secuil jari kaki. Apapun
akan digadaikan untuk membela Al-Musthafa.
Melihat semua yang terdiam, nabi mengulangi lagi ucapannya yang kedua kalinya,
dan kali ini suaranya terdengar lebih keras. Masih saja terlihat para sahabat duduk
tenang. Hingga ucapan yang ketiga kali, seorang laki-laki berdiri menuju Nabi.
Dialah 'Ukasyah Ibnu Muhsin.
"Ya Rasul Allah, Dulu aku pernah bersamamu di perang Badar.
Untaku dan untamu berdampingan, dan aku pun menghampirimu agar dapat menciummu,
duhai kekasih Allah, Saat itu engkau melecutkan cambuk kepada untamu agar dapat
berjalan lebih cepat, namun sesungguhnya engkau memukul lambung samping
ku" ucap 'Ukasyah.
Mendengar ini Nabi pun menyuruh Bilal mengambil cambuk di rumah putri
kesayangannya, Fatimah. Tampak keengganan menggelayuti Bilal, langkahnya
terayun begitu berat, ingin sekali ia menolak perintah tersebut. Ia tidak
ingin, cambuk yang dibawanya melecut tubuh kekasih yang baru saja sembuh. Namun
ia juga tidak mau mengecewakan Rasulullah. Segera setelah sampai, cambuk
diserahkannya kepada Rasul mulia. Dengan cepat cambuk berpindah ke tangan
'Ukasyah. Masjid seketika mendengung seperti sarang lebah.
Sekonyong-konyong melompatlah dua sosok dari barisan terdepan, melesat maju.
Yang pertama berwajah sendu, janggutnya basah oleh air mata yang menderas sejak
dari tadi, dia lah Abu Bakar. Dan yang kedua, sosok pemberani, yang ditakuti
para musuhnya di medan pertempuran, Nabi menyapanya sebagai Umar Ibn Khattab.
Gemetar mereka berkata:
"Hai 'Ukasyah, pukullah kami berdua, sesuka yang kau dera. Pilihlah bagian
manapun yang paling kau ingin, kisaslah kami, jangan sekali-kali engkau pukul
Rasul"
"Duduklah kalian sahabatku, Allah telah mengetahui kedudukan kalian",
Nabi memberi perintah secara tegas. Ke dua sahabat itu lemah sangsai,
langkahnya surut menuju tempat semula. Mereka pandangi sosok 'Ukasyah dengan
pandangan memohon. 'Ukasyah tidak bergeming.
Melihat Umar dan Abu Bakar duduk kembali, Ali bin Abi thalib tak tinggal diam.
Berdirilah ia di depan 'Ukasyah dengan berani.
"Hai hamba Allah, inilah aku yang masih hidup siap menggantikan kisas
Rasul, inilah punggungku, ayunkan tanganmu sebanyak apapun, deralah aku"
"Allah Swt sesungguhnya tahu kedudukan dan niat mu duhai Ali, duduklah
kembali" Tukas kekasih yang baru saja sembuh itu.
"Hai 'Ukasyah, engkau tahu, aku ini kakak-beradik, kami adalah cucu
Rasulullah, kami darah dagingnya, bukankah ketika engkau mencambuk kami, itu
artinya mengkisas Rasul juga", kini yang tampil di depan Ukasyah adalah
Hasan dan Husain. Tetapi sama seperti sebelumnya Rasul menegur mereka.
"Duhai penyejuk mata, aku tahu kecintaan kalian kepadaku. Duduklah".
Masjid kembali ditelan senyap. Banyak jantung yang berdegup kian cepat. Tak
terhitung yang menahan nafas. 'Ukasyah tetap tegap menghadap Nabi. Kini tak ada
lagi yang berdiri ingin menghalangi 'Ukasyah mengambil kisas. "Wahai
'Ukasyah, jika kau tetap berhasrat mengambil kisas, inilah Ragaku," Nabi
selangkah maju mendekatinya.
"Ya Rasulullah, saat Engkau mencambukku, tak ada sehelai kainpun yang
menghalangi lecutan cambuk itu". Tanpa berbicara, Nabi langsung melepaskan
pakaian gamisnya yang telah memudar. Dan tersingkaplah tubuh suci Rasulullah.
Seketika pekik takbir menggema, semua yang hadir menangis pedih.
Melihat tegap badan manusia yang di maksum itu, 'Ukasyah langsung menanggalkan
cambuk dan berhambur ke tubuh Nabi. Sepenuh cinta direngkuhnya Nabi, sepuas
keinginannya ia ciumi punggung Nabi begitu mesra. Gumpalan kerinduan yang
mengkristal kepada beliau, dia tumpahkan saat itu. 'Ukasyah menangis gembira,
'Ukasyah bertasbih memuji Allah, 'Ukasyah berteriak haru, gemetar bibirnya
berucap sendu, "Tebusanmu, jiwaku ya Rasul Allah, siapakah yang sampai
hati mengkisas manusia indah sepertimu. Aku hanya berharap tubuhku melekat
dengan tubuhmu hingga Allah dengan keistimewaan ini menjagaku dari sentuhan api
neraka".
Dengan tersenyum, Nabi berkata: "Ketahuilah duhai manusia, barang siapa yang
ingin melihat penduduk surga, maka lihatlah pribadi lelaki ini". 'Ukasyah
langsung tersungkur dan bersujud memuji Allah. Sedangkan yang lain berebut
mencium 'Ukasyah. Pekikan takbir menggema kembali. "Duhai, 'Ukasyah
berbahagialah engkau telah dijamin Nabi sedemikian pasti, bergembiralah engkau,
karena kelak engkau menjadi salah satu yang menemani Rasul di surga".
Itulah yang kemudian dihembuskan semilir angin ke seluruh penjuru Madinah.
Maka alangkah indahnya saat manusia yang dicinta itu mau dikisas oleh sahabat
'Ukasyah Ibnu Muhsin, kita lah yang diperkenankan untuk menggantikan hujaman
dera cambukan yang memilukan itu, yang membuat masjid kala itu mendengung
seperti sarang lebah. Serta buliran air mata para sahabat yang tak
terbendungkan lagi. sambil berucap "Tidak Ya Rasul Allah,aku saja sebagai
ganti kisas yang akan dihujamkan oleh sahabat 'Ukasyah, pukullah aku, Andakain
tubuhku hancur berkeping-keping asal engkau tiada luka sama sekali, siapa tega
melihat goresan luka ditubuhmu oleh kisas yang akan dilakukan oleh sahabat
terkasihmu 'Ukaysah. Maka relakan tubuh hamba hancur hanya untukmu Duhai
Pemimpin Kami Duhai Utusan Allah"
إرسال تعليق